Skip to main content

Kisahku II

Dari sebelas bersaudara tiga orang kakaku sudah kembali keharibaan-Nya.

Emak-Bapak bukan keturunan darah biru di tanah bugis Pangkep.Gapak demikian juga, kedua orangtuaku rakyat biasa. Karena itu pula, di depan namanya tak ada sebutan Andi termasuk kami anak-anaknya seperti nama Andi Mallarangeng, Andi Golib, Andi Mattalatta dan semacamnya. Namun, dalam lubuk hati yang terdalam kedua orangtuaku punya visi besar membangun keluarga.

Meski selama di KI jakarta aku menyalagunakan nama Andi untuk strata sosial. Khususnya pemilihan organisasi...hehehe

Profesi Bapak adalah petani padi di kampung Galungboko, desa Kabba Kabupaten Pangkep, Suawesi Selatan. Emak seorang rumah tangga yang sesekali ke sawah membantu suaminya jika usai mengurus anak-anaknya di rumah. Biasanya Emak punya jatah libur di sawah setelah melahirkan. Anak berusia setahun sudah bisa dititip di rumah keluarga sebelah rumah. Rumah Tante Nabe'. Di situ saudaraku yang masih kecil ditampun hingga orangtua pulang dari sawah. Termasuk aku semasa kecil ditampung di rumah Tante Abe'. Setelah pulang dari sawah, waktu magrib Emak mengambil anak-anaknya di rumah kakaknya, Dg Nabe. Atau terkadang kami anak-anaknya pulang sendiri ke rumah jika sudah magrib. Dan terkadang juga diteriakin, jika belum balik ke rumah. Jarak rumahku dengan rumah tante Abe berdampingan, 3 meter jaraknya rumah kami.

Rumah keluargaku berdekatan semua. Baik keluarga Emak juga keluargaku dari pihak Bapak. Semua hidup di kampung Galungboko. 100 %semua menetap di Galungboko.

Kedua orangtuaku memiliki kepribadian yang unik. Pasangan yang serasi. Satu serangkai.

Secara fisik, Bapak keperawakan agak kecil. Sedikit hitam tapi manis. Hehehe... Berbicara fisik, Bapak punya otot berisi. Kuat padat. Fisik Bapak mirip kakaku Kherman. Bapak, kecil-kecil cabe rawit. Biar kecil tapi soal kerja Bapak ahlinya. Tidak mundur hingga pekerjaan itu diselesaikan. Tidak pernah menunda pekerjaan. Biar hujan dan terik matahari menghujam kulit dan tulang beliau. Bapak tidak jadi penghalang melanjutkan aktivitas persawahan. Tak ada kata berteduh dalam kamus kerja Bapakku. Ia pekerja keras yang pernah kukenal dalam hidupku. Fisiknya kuat, jarang sakit. Terima kasih Bapak telah mengajari aku bertahan hidup.

Bayangkan, selain besawah, diluar waktu kosongnya ia berkebung. Berternak. Sekali-kali cari ikan di rawah untuk keperluan istri dan anaknya.

Di kebun, Bapak menanami lahan kosong sepeninggalan kakekku dengan singkong, kangkung, kacang panjang dan banyak lagi untuk kebutuhan keluarga. Pokoknya, sayur-mayur dan lauk pauk tidak pernah Emak sebagai bendahara sekaligus merangkap sebagai koki merogok uang dari koceknya untuk keperluan dapur. Paling-paling Emak mengeluarkan uang untuk beli garam. Kecap. Garam itu pun terkadang Emak membarterkannya dengan beras pada penjual garam yang lewat depan rumah.

"Pejje!" terik penjual garam lewat depan rumah. Suaranya melengking. Jika ada langganan yang menghampirinya ia menyapa, "Pejje sambalu," Maksud garam wahai langganan.

Emak dapat 10 liter garam bugis* tiap 1 liternya. Biasanya Emak minta tambahan pada langganannya 1 liter garam bugis tiap membeli. Penjual garam bugis itu menambahkan 1 liter. Aku masih kecil, bertanya-tanya kasian sekali,

Soal hemat, Emak biangnya. Bapak hidup hemat dan tanpa gensi. Waktu kosong dipakai mabendi (tarik dokar) Terkadang hasil perkebunannya dijual langsung di pasar. Hasil pertanian dari gabah dijual dan uangnya ditabung untuk beli sawah atau ladang. Jika minta uang jajan ke Emak ia hanya bilang dengan santai, "Ditabung untuk naik haji." Kata Emak jika merenge-renge minta uang jajan. Emak tahu kalau aku diam dan tak minta uang lagi. Emak tahu persis aku ingin Emak-Bapak naik haji.

Bapak kerja keras mengerjakan sawah orang mati-matian dengan hasil minim. Bapak tidak mau seumur hidup jadi pekerja pada pemilik sawah. Karena itu, Emak juga menabung untuk beli sawah dan emas. Maklum Bapak menggarap sawah orang dengan susah payah. Jadi dari 6 bersaudara Bapak yang disebut petani sukses, bahkan di kampung kami. Ya, kalau ada orang yang mau jual atau menyewakan sawahnya ke Bapak. Bapak tidak memutuskan sendiri tapi diskusikan dengan Emak. Sangat demokratis. Emak selaku bendahara, dan yang tahu kas negara. Jadi kedua orangtuaku ini kombinasi yang sempurna. Sebab, Bapak tidak tahu menahu soal jumlah kas yang ada.

Awalnya, Bapak lebih banyak mengerjakan sawah orang dengan sistem parohan. Hanya ada satu sawah hasil warisan dari orangtua Bapak, nenek Pugi-ku. Atau sawah dari peninggalan orangtua Emakku yang tidak luas. Bahkan untuk dimakan tidak cukup. Bapak-Emak memutar otak untuk estistensi keluarganya.

Emak sama kreatif dengan Bapak. Emak berternak ayam dan itik. Hasilnya untuk dimakan anak dan suami. Emak juga mengumpulkan telur tetangga yang juga masih keluarga kemudian dijual di pasar. Ya lumayan dapat selisi harga. Saya asisten Emak berternak itik dan ayam.

Usia Emak beda sekitar 15 tahun dengan Bapak. Emak 4 bersaudara dari perempuan semua: Dg Asse', Dg Nabe, Dg Saera, Dg Halika. Semua Om dan tante dari Emak-Bapak tinggal satu kampung. Rumah berdekatan. Pernikahan bugis, biasanya menikah dengan kerabat sanak famili. Tujuannya sih, harta warisan tidak ke orang lain. Jadi di kampungku hingga saat ini nikah dengan sepupu sekali masih banyak.

Comments

Popular posts from this blog

Kisahku (Galungboko)

Masa kecilku dihabiskan di kampung Galung-boko. Bapak-Emakku juga lahir dari Galung-boko. Artinya, Emak-Bapak sekampung. Nenek-Kakek dari Bapak-Emak juga lahir di sini. Hingga kini, sanak keluargaku menetap tingga di sini. Hampir seratus persen di kampung ini keluargaku. Jika bukan ada penduduk bukan dari sanak keluargaku, bisa disebut pendatang baru di kampungku. Mayoritas keluargaku menikah dengan hubungan darahnya. Alasan nenek moyangku menikahkan anak cucunya satu darah agar harta yang akan dibagi tidak ke keluarga orang lain. Kan sayang, begitu kata Pamanku saat aku masih berusia 11 tahun. Aku dengar paman Manji saat berbincang dengan orang di depan rumahku. Dan pemahaman seperti ini berakarkuat di kampungku hingga saat ini. Dalam bahasa bugis, galung artinya sawah. Sedangkan boko adalah membelakangi. Arti kampungku "Galung-boko" sawah yang dibelakangi. Memang jika dilihat rumah penduduk di kampungku membelakangi sawah. Hampir semua sawah yang ada di belakang rumah. Ya, ...

Kisahku (Emak Ello Menre Mekka)

Aku baru tahu penyebab Emak amat perhitungan mengeluarkan uang dari lemari uang. Emak ingin naik haji. Lemari uang Emak mirip berangkas fugsinya. Hanya bentuknya agak beda. Lemari uang Emak mirip lemari kaca. Di atasnya menaruh pakaian keluarga yang masih baru. Di lacinya Emak menaruh uang dan beberapa barang berharga seperti emas dan surat berharga dibungkus kain. Yang bisa mengoperasikan lemari itu hanya Emak. Lemari itu hanya Emak yang tahu kuncinya dimana ditaruh. Emak menaruh kuncinya berpindah. Tujuan agar orang yang melihat menaruhnya kesulitan mencarinya. Saking seringnya berpindah tempat Emak menaruh kuncinya.Berapa kali Emak kebingungan sendiri. Emak sering lupa ditaruh dimana kunci 'berangkas' itu. Jika kondisi seperti itu Emak kelimpungan. Panik. Uang yang dikumpulkan dari hasil jual telur, gabah, sapi dan lainnya hilang seketika. Emak terkadang berpikir demikan. Hal-hal yang tak mungkin terpikirkan Emak pikirkan. "Jangan-jangan ada pencuri yang memasuki rumah ...