Seperti rumah tinggal di daerah bugis pada umumnya, rumah di kampung kami lebih banyak rumah panggung. Bila berjalan pelan atau deras di atas rumah, kita bisa tahu siapa di atas rumah. Di sela-sela kayu kita mengintip ke bawah. Jika hujan atau gempah, rumah panggung bergerak oleng. Rumah panggung lebih mantap. Selain ditempati, kita bisa memelihara binatang piaraan di bawah rumah. Juga kita bisa menyimpan hasil pertanian-perkebunan di bawah rumah. Tinggal kita sekat-sekat memisahkan antara satu dengan lainnya. Di atas rumah kita menaruh hasil pertanian atau apa saja di rakkeang. Rakeang itu di platpom rumah kita.
Orangtua merasa bangga dan senang jika anak yang sudah menikah punya rumah panggung punya rakkeang. Dan di bawah rumah anaknya ada salah binatang ternak seperti sapi, kuda, kerbau, ayam, itik. Orangtua merasa sukses mendidik anaknya jika punya rumah panggung dan bertani.
Anak yang sudah bisa mandiri bertani tanpa bantuan orangtua sudah bisa dinikahkan. Anak seperti ini tinggal menunggu waktu akan dinikahkan dari tabungan orangtua. Atau menjual sawah, binatang piaraan dan ladang untuk menikahkan anaknya. Standarnya bisa menanam, membajak, memupuk, memelihara binatang piaraan dan menghasilkan padi hingga jadi gabah.
Masyarakat di kampungku tidak begitu memperdulikan status pendidikan. Banyak teman-temanku setamat SD langsung terjung membantu keluarganya 100 persen di sawah. Setelah itu dinikahkan. Kalau kita tanya, ada saja alasannya yang klasik, PAK--pendapatan asli keluarga--tak cukup membiayai sekolah mereka. Kedua, otak tidak mampu dan alasan takdir. Yang paling rumit kita beri pemahaman adalah urusan takdir. Maklum ini urusan Allah...
Hidup di kampungku asyik dan menyenangkan. Semua yang kita inginkan bisa tercukupi tanpa menggeluarkan PAK. Untuk sayuran, ada sayur-sayuran yang tumbuh liar di mana. Kita bisa memetik sayuran mayur yang subur itu kapan pun. Ada kanggung, ada pappa, gonra dan banyak lagi. Sayuran bergizi nan segar itu tak bertuan. Yang punya adalah yang memetiknya dan berkesempatan membawa ke rumah untuk di masak bersama keluarga.
Soal lauk tenang saja. Banyak. Ikan tawar dari berbagai jenis bisa kita dapatkan dengan mudah. Ikannya enak dan segar. Tinggal kita ke sawah belakang rumah, dapat deh ikannya. Mau mancing bisa. Pakai jala juga bisa. Memasang puka apalagi. Atau memasang buwu'. Buwu itu semacam perangkap ikan yang dipasang di pematang sawah yang airnya mengalir. Buwu dibuat dari bambu yang dirakit berbentuk jaring perangkap. Jika ikan sudah masuk tidak bisa keluar lagi. Hanya saja buwu berisiko. Karena semua yang lewat di saluran air pematang sawah bisa masuk. Parahnya, jika ular air dan belut yang masuk ke buwu' maka ikan yang kena perangkap bisa habis dimakan. Mungkin karena itu, mayoritas orang di kampung tidak makan belut karena mirip ular. Apalagi jika kita buka buwu' itu dan bersamaan ular air dan belut keluar. Dalam alam sadar kita pasti jijik makan belut.
Terkadang kita cari ikan di empang atau di pulau. Secara pribadi belum pernah ke pulau apalagi mancing di pulau. Biasanya, kita mancing di empang pada hari libur. Berangkat pagi, pulang siang. Jarak empang dari rumah lumayan hampir satu kilo meter.
Buat memasak kita memakai kayu bakar. Kayu bakar biasanya kita ambil di gunung, di pagar-pagar kebun, atau kayu yang di sekitar rumah kita tebang. Kayu yang masih mentah itu dibelah jika besar dan hanya dipotong jika kecil.Dibela dan dipotong tidak terlalu besar agar bisa memasuki lobang dapo'. Dapo' itu adalah tempat masak yang terbuat dari tanah liat dan bekas bakaran kulit gabah. Kayu itu dijemur dahulu kemudian disusun di bawah rumah. Semakin banyak kayu bakar di bawah rumah panggung kita makin sejahtera keluarga itu. Terkadang di antara penduduk saling membanggakan dirinya dengan susunan kayu bakar yang telah disusun rapi. Ada yang sengaja menyusunnya agak terlihat orang yang jalan depan rumah. Padahal sejatinya, kayu bakar dekat dapur.
Di kampungku buah-buah yang cukup bergizi bisa dinikmati tanpa mengeluarkan uang dari saku. Ada pisang, jambu, jeruk, mangga, sirsak, kadongdong dan banyak lagi. Ada juga coppeng, kalau di Jakarta namanya. Kita tinggal manjak. Atau menunggu hingga jatuh. Kalau kita punya pohonnya tinggal kita petik.
Karena itu, banyak pemuda-pemudi di kampungku tidak bisa kerja tapi bisa eksis. luar biasa.
Orangtua merasa bangga dan senang jika anak yang sudah menikah punya rumah panggung punya rakkeang. Dan di bawah rumah anaknya ada salah binatang ternak seperti sapi, kuda, kerbau, ayam, itik. Orangtua merasa sukses mendidik anaknya jika punya rumah panggung dan bertani.
Anak yang sudah bisa mandiri bertani tanpa bantuan orangtua sudah bisa dinikahkan. Anak seperti ini tinggal menunggu waktu akan dinikahkan dari tabungan orangtua. Atau menjual sawah, binatang piaraan dan ladang untuk menikahkan anaknya. Standarnya bisa menanam, membajak, memupuk, memelihara binatang piaraan dan menghasilkan padi hingga jadi gabah.
Masyarakat di kampungku tidak begitu memperdulikan status pendidikan. Banyak teman-temanku setamat SD langsung terjung membantu keluarganya 100 persen di sawah. Setelah itu dinikahkan. Kalau kita tanya, ada saja alasannya yang klasik, PAK--pendapatan asli keluarga--tak cukup membiayai sekolah mereka. Kedua, otak tidak mampu dan alasan takdir. Yang paling rumit kita beri pemahaman adalah urusan takdir. Maklum ini urusan Allah...
Hidup di kampungku asyik dan menyenangkan. Semua yang kita inginkan bisa tercukupi tanpa menggeluarkan PAK. Untuk sayuran, ada sayur-sayuran yang tumbuh liar di mana. Kita bisa memetik sayuran mayur yang subur itu kapan pun. Ada kanggung, ada pappa, gonra dan banyak lagi. Sayuran bergizi nan segar itu tak bertuan. Yang punya adalah yang memetiknya dan berkesempatan membawa ke rumah untuk di masak bersama keluarga.
Soal lauk tenang saja. Banyak. Ikan tawar dari berbagai jenis bisa kita dapatkan dengan mudah. Ikannya enak dan segar. Tinggal kita ke sawah belakang rumah, dapat deh ikannya. Mau mancing bisa. Pakai jala juga bisa. Memasang puka apalagi. Atau memasang buwu'. Buwu itu semacam perangkap ikan yang dipasang di pematang sawah yang airnya mengalir. Buwu dibuat dari bambu yang dirakit berbentuk jaring perangkap. Jika ikan sudah masuk tidak bisa keluar lagi. Hanya saja buwu berisiko. Karena semua yang lewat di saluran air pematang sawah bisa masuk. Parahnya, jika ular air dan belut yang masuk ke buwu' maka ikan yang kena perangkap bisa habis dimakan. Mungkin karena itu, mayoritas orang di kampung tidak makan belut karena mirip ular. Apalagi jika kita buka buwu' itu dan bersamaan ular air dan belut keluar. Dalam alam sadar kita pasti jijik makan belut.
Terkadang kita cari ikan di empang atau di pulau. Secara pribadi belum pernah ke pulau apalagi mancing di pulau. Biasanya, kita mancing di empang pada hari libur. Berangkat pagi, pulang siang. Jarak empang dari rumah lumayan hampir satu kilo meter.
Buat memasak kita memakai kayu bakar. Kayu bakar biasanya kita ambil di gunung, di pagar-pagar kebun, atau kayu yang di sekitar rumah kita tebang. Kayu yang masih mentah itu dibelah jika besar dan hanya dipotong jika kecil.Dibela dan dipotong tidak terlalu besar agar bisa memasuki lobang dapo'. Dapo' itu adalah tempat masak yang terbuat dari tanah liat dan bekas bakaran kulit gabah. Kayu itu dijemur dahulu kemudian disusun di bawah rumah. Semakin banyak kayu bakar di bawah rumah panggung kita makin sejahtera keluarga itu. Terkadang di antara penduduk saling membanggakan dirinya dengan susunan kayu bakar yang telah disusun rapi. Ada yang sengaja menyusunnya agak terlihat orang yang jalan depan rumah. Padahal sejatinya, kayu bakar dekat dapur.
Di kampungku buah-buah yang cukup bergizi bisa dinikmati tanpa mengeluarkan uang dari saku. Ada pisang, jambu, jeruk, mangga, sirsak, kadongdong dan banyak lagi. Ada juga coppeng, kalau di Jakarta namanya. Kita tinggal manjak. Atau menunggu hingga jatuh. Kalau kita punya pohonnya tinggal kita petik.
Karena itu, banyak pemuda-pemudi di kampungku tidak bisa kerja tapi bisa eksis. luar biasa.
Comments
Post a Comment