Skip to main content

Kisahku III (Rumah Panggung)

Seperti rumah tinggal di daerah bugis pada umumnya, rumah di kampung kami lebih banyak rumah panggung. Bila berjalan pelan atau deras di atas rumah, kita bisa tahu siapa di atas rumah. Di sela-sela kayu kita mengintip ke bawah. Jika hujan atau gempah, rumah panggung bergerak oleng. Rumah panggung lebih mantap. Selain ditempati, kita bisa memelihara binatang piaraan di bawah rumah. Juga kita bisa menyimpan hasil pertanian-perkebunan di bawah rumah. Tinggal kita sekat-sekat memisahkan antara satu dengan lainnya. Di atas rumah kita menaruh hasil pertanian atau apa saja di rakkeang. Rakeang itu di platpom rumah kita.

Orangtua merasa bangga dan senang jika anak yang sudah menikah punya rumah panggung punya rakkeang. Dan di bawah rumah anaknya ada salah binatang ternak seperti sapi, kuda, kerbau, ayam, itik. Orangtua merasa sukses mendidik anaknya jika punya rumah panggung dan bertani.

Anak yang sudah bisa mandiri bertani tanpa bantuan orangtua sudah bisa dinikahkan. Anak seperti ini tinggal menunggu waktu akan dinikahkan dari tabungan orangtua. Atau menjual sawah, binatang piaraan dan ladang untuk menikahkan anaknya. Standarnya bisa menanam, membajak, memupuk, memelihara binatang piaraan dan menghasilkan padi hingga jadi gabah.

Masyarakat di kampungku tidak begitu memperdulikan status pendidikan. Banyak teman-temanku setamat SD langsung terjung membantu keluarganya 100 persen di sawah. Setelah itu dinikahkan. Kalau kita tanya, ada saja alasannya yang klasik, PAK--pendapatan asli keluarga--tak cukup membiayai sekolah mereka. Kedua, otak tidak mampu dan alasan takdir. Yang paling rumit kita beri pemahaman adalah urusan takdir. Maklum ini urusan Allah...

Hidup di kampungku asyik dan menyenangkan. Semua yang kita inginkan bisa tercukupi tanpa menggeluarkan PAK. Untuk sayuran, ada sayur-sayuran yang tumbuh liar di mana. Kita bisa memetik sayuran mayur yang subur itu kapan pun. Ada kanggung, ada pappa, gonra dan banyak lagi. Sayuran bergizi nan segar itu tak bertuan. Yang punya adalah yang memetiknya dan berkesempatan membawa ke rumah untuk di masak bersama keluarga.

Soal lauk tenang saja. Banyak. Ikan tawar dari berbagai jenis bisa kita dapatkan dengan mudah. Ikannya enak dan segar. Tinggal kita ke sawah belakang rumah, dapat deh ikannya. Mau mancing bisa. Pakai jala juga bisa. Memasang puka apalagi. Atau memasang buwu'. Buwu itu semacam perangkap ikan yang dipasang di pematang sawah yang airnya mengalir. Buwu dibuat dari bambu yang dirakit berbentuk jaring perangkap. Jika ikan sudah masuk tidak bisa keluar lagi. Hanya saja buwu berisiko. Karena semua yang lewat di saluran air pematang sawah bisa masuk. Parahnya, jika ular air dan belut yang masuk ke buwu' maka ikan yang kena perangkap bisa habis dimakan. Mungkin karena itu, mayoritas orang di kampung tidak makan belut karena mirip ular. Apalagi jika kita buka buwu' itu dan bersamaan ular air dan belut keluar. Dalam alam sadar kita pasti jijik makan belut.

Terkadang kita cari ikan di empang atau di pulau. Secara pribadi belum pernah ke pulau apalagi mancing di pulau. Biasanya, kita mancing di empang pada hari libur. Berangkat pagi, pulang siang. Jarak empang dari rumah lumayan hampir satu kilo meter.

Buat memasak kita memakai kayu bakar. Kayu bakar biasanya kita ambil di gunung, di pagar-pagar kebun, atau kayu yang di sekitar rumah kita tebang. Kayu yang masih mentah itu dibelah jika besar dan hanya dipotong jika kecil.Dibela dan dipotong tidak terlalu besar agar bisa memasuki lobang dapo'. Dapo' itu adalah tempat masak yang terbuat dari tanah liat dan bekas bakaran kulit gabah. Kayu itu dijemur dahulu kemudian disusun di bawah rumah. Semakin banyak kayu bakar di bawah rumah panggung kita makin sejahtera keluarga itu. Terkadang di antara penduduk saling membanggakan dirinya dengan susunan kayu bakar yang telah disusun rapi. Ada yang sengaja menyusunnya agak terlihat orang yang jalan depan rumah. Padahal sejatinya, kayu bakar dekat dapur.

Di kampungku buah-buah yang cukup bergizi bisa dinikmati tanpa mengeluarkan uang dari saku. Ada pisang, jambu, jeruk, mangga, sirsak, kadongdong dan banyak lagi. Ada juga coppeng, kalau di Jakarta namanya. Kita tinggal manjak. Atau menunggu hingga jatuh. Kalau kita punya pohonnya tinggal kita petik.


Karena itu, banyak pemuda-pemudi di kampungku tidak bisa kerja tapi bisa eksis. luar biasa.

Comments

Popular posts from this blog

Kisahku II

Dari sebelas bersaudara tiga orang kakaku sudah kembali keharibaan-Nya. Emak-Bapak bukan keturunan darah biru di tanah bugis Pangkep.Gapak demikian juga, kedua orangtuaku rakyat biasa. Karena itu pula, di depan namanya tak ada sebutan Andi termasuk kami anak-anaknya seperti nama Andi Mallarangeng, Andi Golib, Andi Mattalatta dan semacamnya. Namun, dalam lubuk hati yang terdalam kedua orangtuaku punya visi besar membangun keluarga. Meski selama di KI jakarta aku menyalagunakan nama Andi untuk strata sosial. Khususnya pemilihan organisasi...hehehe Profesi Bapak adalah petani padi di kampung Galungboko, desa Kabba Kabupaten Pangkep, Suawesi Selatan. Emak seorang rumah tangga yang sesekali ke sawah membantu suaminya jika usai mengurus anak-anaknya di rumah. Biasanya Emak punya jatah libur di sawah setelah melahirkan. Anak berusia setahun sudah bisa dititip di rumah keluarga sebelah rumah. Rumah Tante Nabe'. Di situ saudaraku yang masih kecil ditampun hingga orangtua pulang dari sawah. ...

Kisahku (Galungboko)

Masa kecilku dihabiskan di kampung Galung-boko. Bapak-Emakku juga lahir dari Galung-boko. Artinya, Emak-Bapak sekampung. Nenek-Kakek dari Bapak-Emak juga lahir di sini. Hingga kini, sanak keluargaku menetap tingga di sini. Hampir seratus persen di kampung ini keluargaku. Jika bukan ada penduduk bukan dari sanak keluargaku, bisa disebut pendatang baru di kampungku. Mayoritas keluargaku menikah dengan hubungan darahnya. Alasan nenek moyangku menikahkan anak cucunya satu darah agar harta yang akan dibagi tidak ke keluarga orang lain. Kan sayang, begitu kata Pamanku saat aku masih berusia 11 tahun. Aku dengar paman Manji saat berbincang dengan orang di depan rumahku. Dan pemahaman seperti ini berakarkuat di kampungku hingga saat ini. Dalam bahasa bugis, galung artinya sawah. Sedangkan boko adalah membelakangi. Arti kampungku "Galung-boko" sawah yang dibelakangi. Memang jika dilihat rumah penduduk di kampungku membelakangi sawah. Hampir semua sawah yang ada di belakang rumah. Ya, ...

Kisahku (Emak Ello Menre Mekka)

Aku baru tahu penyebab Emak amat perhitungan mengeluarkan uang dari lemari uang. Emak ingin naik haji. Lemari uang Emak mirip berangkas fugsinya. Hanya bentuknya agak beda. Lemari uang Emak mirip lemari kaca. Di atasnya menaruh pakaian keluarga yang masih baru. Di lacinya Emak menaruh uang dan beberapa barang berharga seperti emas dan surat berharga dibungkus kain. Yang bisa mengoperasikan lemari itu hanya Emak. Lemari itu hanya Emak yang tahu kuncinya dimana ditaruh. Emak menaruh kuncinya berpindah. Tujuan agar orang yang melihat menaruhnya kesulitan mencarinya. Saking seringnya berpindah tempat Emak menaruh kuncinya.Berapa kali Emak kebingungan sendiri. Emak sering lupa ditaruh dimana kunci 'berangkas' itu. Jika kondisi seperti itu Emak kelimpungan. Panik. Uang yang dikumpulkan dari hasil jual telur, gabah, sapi dan lainnya hilang seketika. Emak terkadang berpikir demikan. Hal-hal yang tak mungkin terpikirkan Emak pikirkan. "Jangan-jangan ada pencuri yang memasuki rumah ...